Sejarah Penerjemahan Al-Quran

Terjemah dalam bahasa Arab adalah al-tarjamah pada dasarnya berasal dari akar kata rajjama dalam Maqayis al-luqah mengandung arti membela, menahan serbuan dan perkataann. Dari akar kata ini, terbentuklah pola kata al-tarjamah yang merupakan masdar fiil rubai yang memiliki makna penjelasan atau menafsirkan makna dengan bahasa lain. Dengan demikian. Terjemah secara kebahasaan bisa diartikan dengan tafsir atau penjelasan.

Menurut Manna al-Qaththan dalam menjelaskan bahwa terjemah tersebut secara harfiah adalah mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susumnan, dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.

Kemudian secara leksikal dalam bahasa Indonesia, terjemah adalah menyalin, atau memindahkan suatu bahasa ke bahasa lain. Pengetian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Manna al-Qaththan sebelumnya yang mengandung makna “mengalih bahasakan suatu bahasa ke bahasa lain yang hasilnya disebut terjemahan atau salinan ke bahasa lain.

Sedangkan terjemah secara terminologis menurut Manna al-Qaththan adalah terjemah tafsiriyah atau terjemah dalam segi makna istilah adalah menjelaskaan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan  kalimatnya.

Dalam Mu’jam al-Washith disebutkan bahwa terjemah adalah pengalihbahasaan perkataan dari satu bahasa ke bahasa lain atau menjelaskan apa yang diinginkan oleh kalimat dalam bahasa asalnya, bahkan sedetail-detail dengan teks aslinya, untuk dialihbahasakan ke dalam penerjemah.

Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa karakteristik setiap bahasa memiliki perbedaan, baik dari segi tertib dan susunannya dan karena itu, dalam upaya penerjemahan bisa tidak terikat dengan bahasa asal. Dengan demikian, dalam menterjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia diperlukan penguasaan tata bahasa, baik tata bahasa Arab maupun tata bahasa Indonesia itu sendiri. Penguasaan tata bahasa Arab misalnya jumlah fi’liyah (kalimat verbal) yang  dimulai dengan fi’il kata kerja yang berfungsi sebagai predikat kemudian fa’il (subyek), baik dalam kalimat tanya (istifham) maupun lainnya; mudhaf didahulukan atas mudhaf ilaih; dan mausuf atas sifatnya.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penerjemahan adalah memindahkan suatu perkataan dari satu bahasa ke bahasa lain, maka teks yang sudah dipindahkan atau diterjemahkan itu bersifat penafsiran dan penjelasan. Oleh karena itu, ketika menerjemahkan ke dalam bahasa yang diingnkan, harus memiliki hubungan yang erat untuk mendapat pemahaman yang akurat seperti yang diinginkan oleh bahasa aslinya. Hal ini bisa dilakukan dengan tiga cara :

  1. Penerjemahan tekstual

Adalah menerjemahkan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam kata dari bahasa penerjemah. Susunan-susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata diubah hinggga akhir.

Contoh kalimat;

 

Diterjemahkan;

Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk,

 

Diartikan;

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

Kebanyakan dari penerjemah menganggap metode ini sangat sulit karena dimana  penerjemah dituntut untuk bisa mengetahui kata-kata yang sama begitupun juga dengan kriteria-kriterianya dalam dua bahasa aslinya. Selain itu, juga disebabkan karena tidak adanya kesepadanan makna kata dalam bahasa asli dengan makna kata bahasa penerjemah. Metode penerjemahan ini hanya bisa diterapkan untuk pengalibahasaan kalimat yang pendek. Namun, untuk pembahasan yang panjang dan ilmiah, maka metode ini tidak bisa mengutarakan pokok pembahaan dan permasalahannya.

  1. Penerjemahan bebas

Metode ini sangat berbeda dari metode sebelumnya dimana penerjemah berusaha memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke wadah yang lain. Tujuannya adalah untuk mencerminkan makna awal dengan sempurna. Terjemahan ini disebut juga dengan terjemahan maknawi, karena usahanya tercurah untuk mengalihbahasakan pengertian-pengertiannya secara sempurna bukan pada teksnya. Metode ini sering kali digunakan dalam buku-buku ilmiah, metode ini adalah metode penerjemahan terbaik dan bisa menjaga amanah dengan baik.

  1. Penerjemahan dengan metode penafsiran

Metode ini penerjemah dituntut untuk mampu menjelaskan dan mengurai masalah-masalah yang tercantum dalam bahasa aslinya dengan menggunakan bahasa yang dikehendakinya. Nah dari ketiga metode diatas dapat dipahami bahwa penerjemahan yang bagus adalah penerjemahan bebas.

Sejarah Penerjemahan  Al-Quran

Dalam lintasan sejarah Islam dikatakan bahwa lima tahun setelah Nabi saw menjadi rasul Allah, ia diperintahkan hijrah ke Ethiopia. Ethiopia adalah sebuah empirium yang asing bagi kaum muslim, dan bahasa mereka berbeda dengan bahasa orang Mekah. Berkenaan dengan itu, Raja Najasyi sebagai penguasa Ethiopia meminta kepada Nabi saw agar mengutus juru bahasa untuk mengajarkan risalahnya dengan bahasa mereka. Maka diadakanlah suatu pertemuan, dan Ja’far bin Ali Thalib dalam pertemuan itu, pertemuan dengan raja dan para pembesarnya, dibacakan beberapa ayat al-Quran dalam surah Maryam setelah itu, Najasyi mengajukan beberapa pertanyaan. Setelah beliau memperoleh beberapa jawaban, dia lalu menghadapkan pandangannya kepada orang-orang yang hadir dan berkata “Demi Allah, sesungguhnya ucapan Muhammad sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran dan aqidah orang-orang Masehi.

Sejarah diatas menjelaskan bahwa terjemahan al-Quran pertama kali dilakukan adalah sejak zaman Nabi saw, ketika ja’far bin Abi Thalib diutus ke Ethiopia, dan orang yang pertama kali menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Ethiopia tersebut. Bahasa Ethiopia dikenal dengan menggunakan bahasa Shindh yang sekarang dikenal di pakistan. Bahasa itulah yang kemudian digunakan masyarakat Ethiopia ketika itu yang pada gilirannya juga mereka belajar bahasa Arab, dan kaidah-kaidah bahasa Arab, yakni ilmu nahwu, mantiq, fashaha, bayan dan balagah. Dari sinilah kemudian penerjemahan al-Quran itu tumbuh dan berkembang, sampai-sampai ada yang disebut terjemahan tafsir al-Quran bahasa Sindh.

Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud al-Ghaznawi belum ditemukan sebuah tafsir/terjrmahan al-Quran , selain karya Muhammad al-Bukhari (w. 448). Dia menafsirkan al-Quran untuk semua dengan bahasa sederhana, mudah dan jelas dalam bahasa Persia di kota Lahore. Setelah pemerintahan Islam menjadi kuat dan sekolah-sekolah banyak didirikan diberbagai wilayah, maka terbitlah berbagai kitab terjemahan al-Quran.

Pada masa pemerintahan Akbar Syah, kajian dan telaah al-Quran pun tumbuh subur dan berkembang pesat di Agra dan Lahore. Kemudian Dinasti Buwaih pernah berkuasa antara tahun 945 sampai 1055 M. Di bagian Barat Laut Iran,mengalami kemajuan pada bidang-bidang ilmu pengetahuan dan pada masa inilah muncunya tokoh-tokoh filosof muslim di antaranya al-Farabi (w.950 M)., Ibnu Sina (980-1037 M) dan Ibnu Maskawaih (w. 1030 M), yang semuanya di samping menterjemahkan filsafat dari bahasa Yunani, juga menterjemahkan bahasa al-Quran ke dalam bahasa mereka.

Secara singkat digambarkan Sukardi bahwa sejak abad ke-3 sampai 11 Hijriah adalah masa penterjemahan al-Quran dengan keterangan sebagai berikut :

  1. Penyampaian kandungan isi alQuran kepada seluruh kaum muslim dalam bahasa Persia dan bahasa Arab.
  2. Penafsiran al-Quran dengan metodologi ilmiah yang disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan keyakinan masyarakat awam.
  3. Pembahasan tentang bacaan, sharf, nahwu, dan keterangan ihwal hubungan antara berbagai ayatdan surah al-Quran.
  4. Metodologi khas yang ditempuh ialah pemakaian bahasa Arab dan Persia, dan bahasa Persia lebih banyak digunakan ketimbang bahasa Arab.

Di samping bahasa Ethiopia, shindh, India, Persia, yang telah disebutkan, ada juga al-Quran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Urdhu. Terjemahan Urdhu yang pertama kali dilakukan oleh Syah Abdul Qadir dari Delhi (w. 1926 ). Dalam perkembangannya al-Quran juga diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa (Inggris). Sebelum berkembangnya bahasa-bahasa Eropa modern, maka bahasa yang berkenbang di Eropa adalah bahasa Latin. Olehkarena itu, tidak mengherankan bahwa terjemahan al-Quran dalam bahasa Eropa dimulai dalam bahasa Latin. Orang yang pertama kali menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Latin adalah Maracce. Kemudian  terjemahan ke dalam bahasa Inggris pertama kali dilakukan oleh A. Ross, tetapi itu adalah hanya terjemahan saka dari bahasa Perancis yang dilakukan oleh Du Ryer pada tahun 1647 dan diterbitkan beberapa tahun kemudian setelah bukunya Du Ryer itu. Terjemahan George Sale yang terbit pada tahun 1734 adalah didasarkan kepada terjemahan  Maracci yang berbahasa Latin.

Adapun terjemahan al-Quran dalam bahasa Indonesia, dimulai pada pertengahan abad ke-17 oleh Rauf Alfasuri, seoraang ulama dari Singkel, Aceh, ke dalam bahasa Melayu. Walaupun mungkin bahwa terjemahan itu ditinjau dari sudut ilmu bahasa Indonesia modern belum sempurna. Namun apa yang dilakukan Rauf Alfasuri sangat besar jasanya dalam upaya penerjemahan al-Quran untuk masa-masa sesudahnya.

 

 

 

 

 

 

This entry was posted in Metodologi Studi Islam. Bookmark the permalink.

Leave a comment